Setiap ane pergi ane selalu liat orang tua yang jualan, walaupun umurnya sudah tua sudah harusnya istirahat menghabiskan waktu hidupnya, dan sudah seharusnya senang tenang tidak memkikirkan tanggungan apapun tapi di jalanan ane liat banyak yang masih usaha untuk mendapatkan hasil
Ya usaha itu dari usaha kecil sampe usaha yang harus mengorbankan fisiknya yang sudah lemah demi mendapatkan hasil untuk keluarganya dan mungkin untuk biaya anaknya & sekolah cucu cucunya
para orangtua ini rela menghabiskan waktu sehari hari dengan mengangkat beban berat, mendorong grobak, panas panasan belum lagi ada kendala di jalanan, bayangkan pergi pagi pulang malam berjalan mungkin puluhan kilo meter dan itu pun hasilnya belum cukup dengan tanggungannya
Ada sedikit kisah nyata
Quote:
“Malaikat Tua” Penjual Amplop
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Bapak penjual amplop itu ternyata bernama Pak Darta. Alhamdulillah ternyata Pak Darta tidak pernah lalai menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu shalat. Dulu, ketika tulisan pertama tentang Bapak itu saya muat di blog ini ada pembaca yang menyangsikan dia seperti pedagang kaki lima lain di sekitar Salman yang tetap berjualan dan tidak ikut shalat Jumat. Tetapi, Pak Darta tidak termasuk pedagang seperti itu. Dia tinggalkan dagangannya begitu saja ketika adzan berkumandang lalu berjalan menuju masjid untuk shalat Jumat.
Selesai shalat Jumat saya berniat menemui Bapak itu lagi untuk membeli amplopnya. Saya ingin membeli sepuluh bungkus lagi. Amplop yang dulu saya beli belum pernah terpakai hingga saat ini, tetapi tidak apa-apa saya ingin membelinya lagi. Saya percaya bahwa dagangan orang-orang kecil itu mengandung barokah, karena ada ketulusan, kejujuran, dan perjuangan hidup di dalamnya.
Bapak itu sudah selesai shalat Jumat dan sudah berada di depan dagangannya. Ketika langkah saya semakin mendekat, saya perhatikan beberapa orang silih berganti membeli dagangan amplopnya. Ada yang membeli satu bungkus, dua bungkus, dan sebagainya. Alhamdulillah, selalu ada saja rezeki buat si Bapak itu ya. Pembeli umumnya melebihkan pembayaran dengan niat sedekah (begitu kira-kira yang saya perhatikan).
Setelah suasana agak sepi baru saya dekati Pak Darta. Penampilannya sekarang terlihat lebih segar dibandingkan pertama kali saya bertemu dia dulu, tetapi tetap seja raut kerentaan, tangan bergetar, dan suara lirihnya masih melekat. Sambil membeli saya ingin tanya-tanya sedikit. Pak Darta memang tidak kenal saya dan beliau juga tidak tahu kalau saya menulis tentang kisahnya, tapi itu tidak penting.
Tukang koran yang berjualan di depan Taman Ganesha ikut menghampiri kami. Rupanya para pedagang di sekitar Taman Ganesha itu terlihat peduli dengan Pak Darta. Sejak tulisan pertama saya tentang Bapak penjual amplop dimuat di blog ini, sudah banyak orang yang datang mencari dia sehingga para pedagang di sana hafal dengan Pak Darta. Para pedagang itu pula yang menjaga barang dagangan Pak Darta bila bapak itu shalat di masjid Salman. Ah, siapa pula orang orang yang tega mencuri dagangan amplop Pak Darta.
Saya yakin Pak Darta adalah tipikal muslim yang taat. Beberapa kali saya pernah melihat dia — tapi bukan pada hari Jumat — mengemasi dagangannya ketika adzan Dhuhur berkumandang dari Masjid Salman. Pak Darta menitipkan tas yang berisi dagangan amplopnya kepada pedagang martabak mini di sekitar situ, lalu dia berjalan dengan pelan menuju masjid untuk mengambil wudlu dan shalat di dalam. Barakollah pak, meskipun miskin dan sudah renta tetapi tidak lalai dengan kewajiban agama.
Pak Darta bercerita ada empat kali dia kedatangan orang-orang ke rumahnya di Bale Endah, Kabupaten Bandung. Alhamdulillah, ada saja orang-orang baik hati yang datang membantunya. Pak Darta berkata dengan nada lirih bahwa dia memerlukan uang untuk memperbaiki rumahnya yang sudah butut. Saya belum pernah ke rumahnya, belum punya kesempatan ke sana. Tapi, kalau anda ingin datang melihat rumahnya, ini saya kasih alamatnya setelah saya minta: Pak Darta, RT 06 RW 01 Desa Cipicung, Manggahang, Bale Endah, Kabupaten Bandung. Bale Endah itu kecamatan yang letaknya di selatan kota Bandung.
Sumber
Kakek Tua Pedagang Tali Sepatu dan Koran
Sumber
Quote:Original Posted By oldfriend15 ►
Gan itu yang diunpad namanya pak toha, dia udah meninggal gan
turut berduka
Kakek Penjual Lem
Pada suatu hari, tepatnya itu hari jum’at. Sekitar pukul 11.45 saya pergi k mesjid belakang kampus untuk menunaikan ibadah sholat jum’at dan dzuhur. Saya berjalan dengan teman kelas yang juga beragama islam untuk menunaikan sholat bersama. Ketika perjalanan ke mesjid sekitar 10 meter dari mesjid terlihat seorang kakek tua yang duduk lemas di pinggiran dinding dan pagar kampus. Sekilas saya berfikir itu seorang pengemis, ketika makin dekat perjalanan saya dengan si kakek tua itu. Saya tergejut ternyata dia pedagang Lem kertas. Sementara saya lihat di kerumunan banyak orang yang lalu lalang, tidak ada satu pun mahasiswa yang mendekati si kakek tua itu dengan maksud membeli barang dagangannya. Hati ini berdegup kencang dengan sedikit sedih melihat kondisi si kakek yang sudah tua. Namun waktu sholat sudah hampir mulai, dengan terpaksa saya harus melanjutkan berjalanan saya ke mesjid dengan maksud nanti setelah sholat saya akan menemui kakek itu.
Setelah saya menunaikan sholat, saya langsung keluar mesjid dan memakai sepatu saya. Dengan sedikit tergesa-gesa saya langsung menghampiri kakek tua yang ternyata dia juga baru selesai sholat. Dalam hati saya berkata “Ya Allah Hebat sekali kakek ini meskipun dia sudah tua, tetapi dia tetap menjalankan kewajiban sholatnya dengan harus berjalan kaki yang saya rasa diapun susah untuk berjalan”. Akhir nya saya sampai di tempat kakek tua, dan saya langsung berbincang kepada si kakek.
“Kek,Jualan apa disini”.tanyaku basa-basi untuk memulai perbincangan.
“Jual Lem kertas cu”. Jawab kakek itu pelan.
“Berapa kek 1 nya?”. Tanyaku lagi.
“1500 cu”. Jawab dia singkat.
“cucu mau beli?” tanyanya.
“ia kek, oia hari ini kakek sudah laku berapa lemnya?”.tanyaku kembali
“Kalo kamu jadi beli, kamu pembeli pertama yang membeli dagangan kakek hari ini.”katanya.
Akupun kaget mendengar jawabannya. Dari sekian banyak mahasiswa yang lewat belom ada 1 orang pun yang membeli barang dagangannya. Karena, untuk kalangan mahasiswa tidak terlalu membutuhkan Lem kertas.
“Kakek kenapa berjualan? Cucu kakek kemana?”. Bertanya dengan rasa ingin tahu.
“Kakek sendiri cu sudah 5 tahun lebih kakek hidup sendiri”. Jawabnya sambil meneteskan air mata.
“Maav kek kalau saya banyak bertanya, ya sudah saya ambil semua ya kek lem nya” ujarku dengan senang hati sambil mengeluarkan uang 100.000,-.
Kakek itu pun memelukku sambil mengucapkan terima kasih.
Saya yakin harga lem itu tidak seberapa, tapi hanya demi kebutuhan makan harian kakek itu pun rela berjualan sepanjang hari untuk melangsungan hidupnya.
Sumber
cerita ini adalah menginformasikan kepada kita semua bahwa banyak orang” yg jauh dari beruntung diluar sana , yang masih berani bertahan hidup walau tantangan dan cobaan yang begitu besar yang harus dipikul , juga membuka mata kita bahwa uang sebesar 10rb / 20 rb yang selama ini kita anggap uang receh , tidak berlaku bagi mereka , bagi mereka uang sebesar itu adalah uang yang banyak dan sangat berarti bagi mereka ..
Pedagang tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di mana-mana, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si pedagang tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka semoga saja perbuatan baik kita dapat berbuah menjadi suatu akibat yang baik pula, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Nah kalo agan ada pedagang seperti itu agan mau beli apa engga ? walaupun barangnya ga kepake buat saat itu
Sumber
Ya usaha itu dari usaha kecil sampe usaha yang harus mengorbankan fisiknya yang sudah lemah demi mendapatkan hasil untuk keluarganya dan mungkin untuk biaya anaknya & sekolah cucu cucunya
para orangtua ini rela menghabiskan waktu sehari hari dengan mengangkat beban berat, mendorong grobak, panas panasan belum lagi ada kendala di jalanan, bayangkan pergi pagi pulang malam berjalan mungkin puluhan kilo meter dan itu pun hasilnya belum cukup dengan tanggungannya
Ada sedikit kisah nyata
Quote:
“Malaikat Tua” Penjual Amplop
Spoiler for Cerita
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Bapak penjual amplop itu ternyata bernama Pak Darta. Alhamdulillah ternyata Pak Darta tidak pernah lalai menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu shalat. Dulu, ketika tulisan pertama tentang Bapak itu saya muat di blog ini ada pembaca yang menyangsikan dia seperti pedagang kaki lima lain di sekitar Salman yang tetap berjualan dan tidak ikut shalat Jumat. Tetapi, Pak Darta tidak termasuk pedagang seperti itu. Dia tinggalkan dagangannya begitu saja ketika adzan berkumandang lalu berjalan menuju masjid untuk shalat Jumat.
Selesai shalat Jumat saya berniat menemui Bapak itu lagi untuk membeli amplopnya. Saya ingin membeli sepuluh bungkus lagi. Amplop yang dulu saya beli belum pernah terpakai hingga saat ini, tetapi tidak apa-apa saya ingin membelinya lagi. Saya percaya bahwa dagangan orang-orang kecil itu mengandung barokah, karena ada ketulusan, kejujuran, dan perjuangan hidup di dalamnya.
Bapak itu sudah selesai shalat Jumat dan sudah berada di depan dagangannya. Ketika langkah saya semakin mendekat, saya perhatikan beberapa orang silih berganti membeli dagangan amplopnya. Ada yang membeli satu bungkus, dua bungkus, dan sebagainya. Alhamdulillah, selalu ada saja rezeki buat si Bapak itu ya. Pembeli umumnya melebihkan pembayaran dengan niat sedekah (begitu kira-kira yang saya perhatikan).
Setelah suasana agak sepi baru saya dekati Pak Darta. Penampilannya sekarang terlihat lebih segar dibandingkan pertama kali saya bertemu dia dulu, tetapi tetap seja raut kerentaan, tangan bergetar, dan suara lirihnya masih melekat. Sambil membeli saya ingin tanya-tanya sedikit. Pak Darta memang tidak kenal saya dan beliau juga tidak tahu kalau saya menulis tentang kisahnya, tapi itu tidak penting.
Tukang koran yang berjualan di depan Taman Ganesha ikut menghampiri kami. Rupanya para pedagang di sekitar Taman Ganesha itu terlihat peduli dengan Pak Darta. Sejak tulisan pertama saya tentang Bapak penjual amplop dimuat di blog ini, sudah banyak orang yang datang mencari dia sehingga para pedagang di sana hafal dengan Pak Darta. Para pedagang itu pula yang menjaga barang dagangan Pak Darta bila bapak itu shalat di masjid Salman. Ah, siapa pula orang orang yang tega mencuri dagangan amplop Pak Darta.
Saya yakin Pak Darta adalah tipikal muslim yang taat. Beberapa kali saya pernah melihat dia — tapi bukan pada hari Jumat — mengemasi dagangannya ketika adzan Dhuhur berkumandang dari Masjid Salman. Pak Darta menitipkan tas yang berisi dagangan amplopnya kepada pedagang martabak mini di sekitar situ, lalu dia berjalan dengan pelan menuju masjid untuk mengambil wudlu dan shalat di dalam. Barakollah pak, meskipun miskin dan sudah renta tetapi tidak lalai dengan kewajiban agama.
Pak Darta bercerita ada empat kali dia kedatangan orang-orang ke rumahnya di Bale Endah, Kabupaten Bandung. Alhamdulillah, ada saja orang-orang baik hati yang datang membantunya. Pak Darta berkata dengan nada lirih bahwa dia memerlukan uang untuk memperbaiki rumahnya yang sudah butut. Saya belum pernah ke rumahnya, belum punya kesempatan ke sana. Tapi, kalau anda ingin datang melihat rumahnya, ini saya kasih alamatnya setelah saya minta: Pak Darta, RT 06 RW 01 Desa Cipicung, Manggahang, Bale Endah, Kabupaten Bandung. Bale Endah itu kecamatan yang letaknya di selatan kota Bandung.
Sumber
Kakek Tua Pedagang Tali Sepatu dan Koran
Spoiler for Cerita 2
Jatinangor, tepatnya Universitas Padjadjaran adalah almamaterku, tempatku menimpa ilmu dan sebagai langkah awal mencapai asaku. Tak jauh berbeda memang dengan aktivitas di kampus lain dengan segala hiruk-pikuk lalu lalang para mahasiswanya. Jatinangor pun kini menjadi daerah pendidikan yang semakin mengalami perkembangan mengikuti zaman. Kultur dan pola pikir masyarakatnya pun kini mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih dinamis, tidak hanya terpaku kepada pemikiran yang kolot semata. Namun, apakah daerah ini masih menjadi surga bagi warganya. Tidak ada yang dapat memastikan akan hal itu.
Diperjalan menuju kampus, mataku kini terpaku pada satu sudut kampus yang mulai ramai oleh tukang ojeg yang menawarkan jasanya. Disisi lain aku melihat seorang kakek tua yang terlihat begitu sayup, namun semangatnya terus saja melekat pada diri kakek itu. Perlahan ku dekati kakek tua itu dan ternyata kakek tua itu sedang berdagang tali sepatu yang menurutku memiliki peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan keuntungan. Namun, kakek tu yang selalu memakai topi ini selalu saja berusaha dan baginya dia rela melakukan apapun demi keluarganya.
Setelah ditelusuri, kakek tua ini menghabiskan waktunya di Jatinangor menjajakan dagangannya hanya untuk bekal keluarganya. Dia tidak akan pulang kampong sampai dia mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Aku pun memutuskan untuk membeli sepasang tali sepatu itu walaupun tali sepatuku masih terlihat bagus. Namun, apa salahnya membeli sebagai cadangan nantinya.
Tadinya aku mau berbincang banyak dengan si kakek itu, namun waktu telah memaksaku untuk berpisah karena harus mengikuti perkuliahan yang lumayan padat. Rencananya aku mau mewawancarai kakek itu dilain waktu yang luang. Semoga pengalaman beliau bisa menjadi hikmah tersendiri bagi diriku pada khususnya dan teman-temanku pada umumnya. Sesampainya di kelas, aku menceritakan kejadian yang telah menimpaku kepada teman-temanku. Mereka pun merasa iba dan terharu mendengar cerita tentang si kakek itu.
Waktu istirahat pun tiba, aku pun memutuskan untuk makan di kantin bersama teman-temanku. Setelah tiba di kantin ada hal aneh yang terjadi, aku melihat kakek tua yang tadi ada di gerbang lama Unpad. Aku heran dan memastikan apakah beliau kakek yang tadi pagi digerbang. Setelah aku bertanya, ternyata memang benar kakek itu adalah pedagang tali sepatu yang tadi pagi. Namun, kali ini kakek tua itu beralih profesi menjadi pedagang Koran. Seperti biasanya, dengan semangat yang pantang menyerah kakek itu menjajakan dagangannya dengan yakin dan kalimat persuasi para pelanggannya. Teman-temanku pun terbengong dan kagum kepada kakek tua itu, di usianya yang sudah renta yang seharunya menikmati masa tuanya masih saja bekerja demi kepentingan keluarganya.
Salah satu temanku bertanya pada kakek itu tentang anaknya dan seharusnya anaknya yang menggantikan posisi si kakek. Namun, dengan legowo dan bijak kakek tua itu menjawab “selama masih bisa berjalan dan memiliki nikmat kesehatan, kakek masih mau membantu keluarga”. Lagi pula, anak-anaknya juga memiliki bebannya masing-masing karena semuanya sudah berumah tangga. Kondisi ekonomi juga mendesak si kakek untuk berusaha lebih di usianya kini yang tidak muda lagi. Akhirnya, percakapan kami dengan si kakek pun berakhir karena aku dan teman-temanku harus kembali kuliah. Salah satu temanku memborong Koran yang dijajakan kakek tua itu. Katanya sih untuk dibagikan juga untuk teman-temannya yang lain. Sang kakek pun tersenyum tanda terima kasih dengan bibir yang merekah.
Semoga kita dapat mengambil hikmah kehidupan yang lebih baik. Aaamiin.
Diperjalan menuju kampus, mataku kini terpaku pada satu sudut kampus yang mulai ramai oleh tukang ojeg yang menawarkan jasanya. Disisi lain aku melihat seorang kakek tua yang terlihat begitu sayup, namun semangatnya terus saja melekat pada diri kakek itu. Perlahan ku dekati kakek tua itu dan ternyata kakek tua itu sedang berdagang tali sepatu yang menurutku memiliki peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan keuntungan. Namun, kakek tu yang selalu memakai topi ini selalu saja berusaha dan baginya dia rela melakukan apapun demi keluarganya.
Setelah ditelusuri, kakek tua ini menghabiskan waktunya di Jatinangor menjajakan dagangannya hanya untuk bekal keluarganya. Dia tidak akan pulang kampong sampai dia mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Aku pun memutuskan untuk membeli sepasang tali sepatu itu walaupun tali sepatuku masih terlihat bagus. Namun, apa salahnya membeli sebagai cadangan nantinya.
Tadinya aku mau berbincang banyak dengan si kakek itu, namun waktu telah memaksaku untuk berpisah karena harus mengikuti perkuliahan yang lumayan padat. Rencananya aku mau mewawancarai kakek itu dilain waktu yang luang. Semoga pengalaman beliau bisa menjadi hikmah tersendiri bagi diriku pada khususnya dan teman-temanku pada umumnya. Sesampainya di kelas, aku menceritakan kejadian yang telah menimpaku kepada teman-temanku. Mereka pun merasa iba dan terharu mendengar cerita tentang si kakek itu.
Waktu istirahat pun tiba, aku pun memutuskan untuk makan di kantin bersama teman-temanku. Setelah tiba di kantin ada hal aneh yang terjadi, aku melihat kakek tua yang tadi ada di gerbang lama Unpad. Aku heran dan memastikan apakah beliau kakek yang tadi pagi digerbang. Setelah aku bertanya, ternyata memang benar kakek itu adalah pedagang tali sepatu yang tadi pagi. Namun, kali ini kakek tua itu beralih profesi menjadi pedagang Koran. Seperti biasanya, dengan semangat yang pantang menyerah kakek itu menjajakan dagangannya dengan yakin dan kalimat persuasi para pelanggannya. Teman-temanku pun terbengong dan kagum kepada kakek tua itu, di usianya yang sudah renta yang seharunya menikmati masa tuanya masih saja bekerja demi kepentingan keluarganya.
Salah satu temanku bertanya pada kakek itu tentang anaknya dan seharusnya anaknya yang menggantikan posisi si kakek. Namun, dengan legowo dan bijak kakek tua itu menjawab “selama masih bisa berjalan dan memiliki nikmat kesehatan, kakek masih mau membantu keluarga”. Lagi pula, anak-anaknya juga memiliki bebannya masing-masing karena semuanya sudah berumah tangga. Kondisi ekonomi juga mendesak si kakek untuk berusaha lebih di usianya kini yang tidak muda lagi. Akhirnya, percakapan kami dengan si kakek pun berakhir karena aku dan teman-temanku harus kembali kuliah. Salah satu temanku memborong Koran yang dijajakan kakek tua itu. Katanya sih untuk dibagikan juga untuk teman-temannya yang lain. Sang kakek pun tersenyum tanda terima kasih dengan bibir yang merekah.
Semoga kita dapat mengambil hikmah kehidupan yang lebih baik. Aaamiin.
Sumber
Quote:Original Posted By oldfriend15 ►
Gan itu yang diunpad namanya pak toha, dia udah meninggal gan
turut berduka
Kakek Penjual Lem
Spoiler for Cerita 3
Pada suatu hari, tepatnya itu hari jum’at. Sekitar pukul 11.45 saya pergi k mesjid belakang kampus untuk menunaikan ibadah sholat jum’at dan dzuhur. Saya berjalan dengan teman kelas yang juga beragama islam untuk menunaikan sholat bersama. Ketika perjalanan ke mesjid sekitar 10 meter dari mesjid terlihat seorang kakek tua yang duduk lemas di pinggiran dinding dan pagar kampus. Sekilas saya berfikir itu seorang pengemis, ketika makin dekat perjalanan saya dengan si kakek tua itu. Saya tergejut ternyata dia pedagang Lem kertas. Sementara saya lihat di kerumunan banyak orang yang lalu lalang, tidak ada satu pun mahasiswa yang mendekati si kakek tua itu dengan maksud membeli barang dagangannya. Hati ini berdegup kencang dengan sedikit sedih melihat kondisi si kakek yang sudah tua. Namun waktu sholat sudah hampir mulai, dengan terpaksa saya harus melanjutkan berjalanan saya ke mesjid dengan maksud nanti setelah sholat saya akan menemui kakek itu.
Setelah saya menunaikan sholat, saya langsung keluar mesjid dan memakai sepatu saya. Dengan sedikit tergesa-gesa saya langsung menghampiri kakek tua yang ternyata dia juga baru selesai sholat. Dalam hati saya berkata “Ya Allah Hebat sekali kakek ini meskipun dia sudah tua, tetapi dia tetap menjalankan kewajiban sholatnya dengan harus berjalan kaki yang saya rasa diapun susah untuk berjalan”. Akhir nya saya sampai di tempat kakek tua, dan saya langsung berbincang kepada si kakek.
“Kek,Jualan apa disini”.tanyaku basa-basi untuk memulai perbincangan.
“Jual Lem kertas cu”. Jawab kakek itu pelan.
“Berapa kek 1 nya?”. Tanyaku lagi.
“1500 cu”. Jawab dia singkat.
“cucu mau beli?” tanyanya.
“ia kek, oia hari ini kakek sudah laku berapa lemnya?”.tanyaku kembali
“Kalo kamu jadi beli, kamu pembeli pertama yang membeli dagangan kakek hari ini.”katanya.
Akupun kaget mendengar jawabannya. Dari sekian banyak mahasiswa yang lewat belom ada 1 orang pun yang membeli barang dagangannya. Karena, untuk kalangan mahasiswa tidak terlalu membutuhkan Lem kertas.
“Kakek kenapa berjualan? Cucu kakek kemana?”. Bertanya dengan rasa ingin tahu.
“Kakek sendiri cu sudah 5 tahun lebih kakek hidup sendiri”. Jawabnya sambil meneteskan air mata.
“Maav kek kalau saya banyak bertanya, ya sudah saya ambil semua ya kek lem nya” ujarku dengan senang hati sambil mengeluarkan uang 100.000,-.
Kakek itu pun memelukku sambil mengucapkan terima kasih.
Saya yakin harga lem itu tidak seberapa, tapi hanya demi kebutuhan makan harian kakek itu pun rela berjualan sepanjang hari untuk melangsungan hidupnya.
Sumber
cerita ini adalah menginformasikan kepada kita semua bahwa banyak orang” yg jauh dari beruntung diluar sana , yang masih berani bertahan hidup walau tantangan dan cobaan yang begitu besar yang harus dipikul , juga membuka mata kita bahwa uang sebesar 10rb / 20 rb yang selama ini kita anggap uang receh , tidak berlaku bagi mereka , bagi mereka uang sebesar itu adalah uang yang banyak dan sangat berarti bagi mereka ..
Pedagang tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di mana-mana, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si pedagang tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka semoga saja perbuatan baik kita dapat berbuah menjadi suatu akibat yang baik pula, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Nah kalo agan ada pedagang seperti itu agan mau beli apa engga ? walaupun barangnya ga kepake buat saat itu
Sumber
SELURUH ARTIKEL BERASAL DARI KASKUS HT, kami tidak bertanggung jawab dari informasi yang ada disini